Gas dan batubara kita untuk siapa

Negara yang memiliki kandungan sumber daya energi yang besar, identik dengan kemakmuran. Logikanya sederhana, kekayaan alam tersebut akan ... thumbnail 1 summary

Negara yang memiliki kandungan sumber daya energi yang besar, identik dengan kemakmuran. Logikanya sederhana, kekayaan alam tersebut akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Harga produk industri menjadi lebih kompetitif di pasar internasional karena input energi yang murah dan berlimpah.
Pembangunan berbagai infrastruktur akan berjalan pesat dan pengentasan kemiskinan dapat terwujud karena ditopang devisa dari hasil penjualan kekayaan alam dan produk industri. Masyarakat akan dengan mudah mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang mamadai. Hasilnya, sumber daya manusia berkualitas yang dihasilkan akan semakin memperkuat daya saing internasional dan kemandirian negara tersebut. Namun rupanya tidak semua negara penghasil sumber daya alam energi mengikuti alur seperti itu.
Dengan kekayaan alam yang berlimpah, beberapa negara justeru mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing.
Nigeria adalah salah satu contoh klasik sebuah negara kaya minyak yang justeru mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama beberapa dekade.
 Inilah yang disebut oleh kalangan ekonom sebagai “the resource curse” atau “the paradox of plenty“, dimana kekayaan alam yang berlimpah tidak memberikan berkah tetapi justeru membawa bencana. Nasib Indonesia yang juga memiliki kekayaan sumber energi memang tidak semalang Nigeria, namun juga tidak bisa dikatakan berhasil dibandingkan beberapa negara berkembang di kawasan Asia yang justeru relatif miskin sumber daya alam. Salah satu penjelasan tesis “the resource curse” adalah terabaikannya sektor industri dan pertanian karena pemerintah terbuai untuk mengandalkan devisa dari penjualan kekayaan alam. Gambaran pengelolaan produksi gas alam dan batubara di negeri kita sedikit banyak menjadi bukti pembenaran atas tesis tersebut.

Gas alam
Indonesia memiliki cadangan gas alam sebesar 2.8 triliun meter kubik (97 triliun kaki kubik) pada akhir 2005, yang setara dengan 1.5 persen cadangan dunia. Jumlah tersebut sebenarnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan produsen gas alam yang lain. Rusia, misalnya, memiliki cadangan gas alam sebesar 48 triliun meter kubik. Iran dan Qatar masing-masing memiliki sekitar 27 dan 26 triliun meter kubik.

Namun lebih kecil cadangan bukan berarti lebih sedikit dalam volume ekspor. Selama beberapa tahun Indonesia justeru tercatat sebagai eksportir gas alam terbesar di dunia. Pada tahun 2005, produksi gas alam Indonesia tercatat sebesar 75 milyar meter kubik, hampir separuhnya (36 milyar meter kubik) diekspor. Sisanya sekitar 39 Milyar meter kubik digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sebagai perbandingan, negeri jiran Malaysia memiliki konsumsi gas alam yang hampir sama, dengan jumlah penduduk yang hanya sepersepuluh penduduk Indonesia.

Gas alam merupakan input yang sangat vital dalam berbagai industri, diantaranya: industri logam, kimia, pulp dan kertas. Di dalam bidang pembangkitan listrik, gas alam digunakan sebagai bahan bakar PLTG dan PLTGU. Waktu konstruksi yang singkat dan respon pengoperasian yang cepat menjadikan PLTG sebagai pembangkit listrik yang ideal untuk memenuhi kebutuhan beban puncak. Sementara, efisiensi gas ke listrik yang sangat tinggi menempatkan PLTGU sebagai pembangkit yang paling kompetitif diantara alternatif pembangkit termal yang lain. Di sisi lain, sifat gas alam yang lebih ramah lingkungan dibandingkan sumber energi fosil yang lain menjadikannya sebagai sumber energi andalan untuk saat ini dan waktu-waktu yang akan datang.

Melihat potensi dan manfaat gas alam tersebut mestinya pemenuhan kebutuhan dalam negeri menjadi prioritas. Namun kenyataanya justeru sebaliknya, setiap hari kebutuhan gas alam dalam negeri mengalami defisit sebesar 0,3 milyar kaki kubik (Tempo Interaktif, 5 Maret 2007). Defisit gas sebenarnya sudah mulai dirasakan kalangan industri sejak tahun 2005 namun kondisinya semakin parah akhir-akhir ini. Keadaan diperburuk dengan kondisi infrastruktur gas di Indonesia yang juga jauh dari memadai. Gas alam dari ladang-ladang gas tidak bisa dialirkan ke industri-industri yang membutuhkan karena ketiadaan pipa transmisi dan distribusi.

Akibatnya, banyak industri yang mengandalkan gas alam harus kelimpungan bahkan terancam gulung tikar (Kompas, 11 Mei 2007). Sebagian yang lain berencana untuk hengkang dari Indonesia (Pikiran Rakyat, 7 Maret 2007). Beberapa pembangkit listrik tenaga gas juga terpaksa harus beralih ke BBM sehingga berakibat pada lonjakan biaya pembangkitan. Pabrik-pabrik pupuk pun berhenti beroperasi karena kurangnya pasokan gas. Singkat kata, industri-industri tersebut dapat diibaratkan seperti tikus mati di lumbung padi.

Anehnya, di tengah defisit suplai gas dalam negeri dan keterbatasan cadangan, pemerintah justeru bertekad mempertahankan posisinya sebagai ekportir LNG terbesar di dunia (Kompas, 17 Januari 2007). Yang lebih ironis, belum lama ini Wapres Jusuf Kalla justeru menyatakan bahwa untuk mempertahankan kepentingan ekspor LNG ke Jepang dan Korea maka konsumsi gas dalam negeri harus ditekan serta menggantinya dengan batubara (Bisnis Indonesia, 4 Mei 2007). Ini jelas membuktikan bahwa pemerintah masih melihat gas alam semata-mata sebagai komoditi ketimbang sebagai aset pembangunan industri dan pemberdayaan ekonomi nasional.

Batubara
Obral sumber daya energi tidak hanya terjadi pada gas alam, tetapi juga batubara. Sepanjang tahun 2005-2006, Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Ekspor tersebut mampu menutup 25 persen permintaan pasar batubara dunia (TEMPO Interaktif, 6 Mei 2007). Ironisnya, konsumsi batubara perkapita Indonesia justeru termasuk yang terendah diantara negara-negara produsen batubara. Bahkan konsumsi batubara perkapita Indonesia hanya separuh dari Malaysia dan Thailand, padahal keduanya tergolong miskin cadangan batubara.